Paramadina dan Cita-Cita Luhur Bangsa Indonesia
Mendengar kata duta maka yang terlintas di benakku adalah seseorang yang berfungsi sebagai penyampai citra atau pengintepretasian dari suatu objek yang dicitrakan. Duta Paramadina adalah orang-orang yang berfungsi menyampaikan citra paramadina ke ranah publik.
Faktanya masih banyak yang belum menganal apa itu Paramadina. Saat sosialisasi Paramadina Fellowship di tahun 2010 dan 2011 di lebih dari 35 SMU/sederajat di kabupaten Cirebon dan Majalengka, saya banyak menemukan kasus salah ucap nama universitas kita. Universitas Paramadina ada yang mengatakan Paramadian, Paradigma bahkan ada yang mengatakan Paramita, "hadehhhh". Padahal mereka bilang: “iya ini kampus bagus lho” tapi tetap saja salah ucap itu terjadi. Mendengar salah ucap itu saya pribadi merasa perlu menyampaikan apa itu Paramdina yang sebenarnya.
Tahun 2008 untuk pertama kalinya saya mendengar Universitas Paramadina. Awalnya beredar kabar atau malah desas--desus yang kurang jelas. Banyak yang mengatakan Paramadina adalah kampus sekuler dan liberal. Sekuler dan liberal adalah kata-kata 'berkekuatan magis' yang ditakut-takuti kebanyakan orang di kampungku. Padahal mereka bahkan saya sendiri tidak tahu apa itu sekular apa itu liberal. Saat adikku memutuskan meninggalkan IPB dan memilih Paramadina, sempat terjadi kerengagangan di antara kami. Setiap gerak-geriknya saya perhatikan. Hatiku berkata :“Ni anak masih shalat gak?”. Ternyata dia masih shalat, masih seperti yang dulu. Kemudian adikku menjelaskan apa itu Paramadina. Barulah saya mengerti ternyata yang beredar di masyarakat hanyalah desas-desus belaka.
Tahun 2009 saya memutuskan mengikuti Paramadina Fellowship. Saat pertama bertemu tim panel di Kota Cirebon saya memuji tim panel dengan mengatakan :”terima kasih bu, sudah berkenan datang ke daerah kami hanya untuk mencari kami di daerah-daerah, sepengetahuanku tidak ada satupun universitas seperti ini”. Alhamdulillah lolos. Sejak saat itu pikiranku yang selalu berkata tidak mungkin ada universitas yang memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan secara gratis 100% terbantahkan. Saya bertekad harus menjadi bagian dari Paramadina yang selalu selaras dengan cita-cita para leluhur bangsa yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Saat ini saya sudah semester 4 dan ternyata Paramadina masih eksis menjalankan program Paramadina Fellowshipnya. Di tahun ini saat liburan semester 3, saya turut melakukan sosialisasi ke 35 SMU/Sederajat di Kabupaten Majalengka hingga Cirebon. Liburan yang hanya dua minggu saya habiskan untuk sosialisasi. Banyak yang menyambut gembira namun masih ada di antara guru yang menganggap kampus kita adalah kampus sekuler, ini saya anggap sebagai ‘PR’. Tahun sebelumnya, 2010 juga saya melakukan sosialisasi yang sama.
Ada peristiwa yang susah untuk dilupakan saat sosialisasi kemarin, di hari ulah tahunku, 2 Februari saya tetap melakukan perjalanan untuk sosialisasi. Tiba gilirannya SMU Di ujung selatan Majalengka yang berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis. Pagi sekitar jam 07:00 WIB pagi tanpa sarapan terlebih dahulu saya berpamitan dan langsung ‘terbang’ menuju Talaga, Maja dan Cikijung. Sekitar pukul 08:00 pagi saya sampai di SMU Talaga untuk pertama kalinya. Pak H. Wowo sang kepala sekolah menyambut baik kedatangan saya. Seluruh siswa kelas tiga IPA dan IPS yang berperingkat 10 besar dikumpulakan di aula. Para siswa menyambut berita yang saya bawa dengan penuh antusias. Hatiku berkata :”ini adalah kado ultahku”. Selesai sosialisasi saya melanjutkan perjalanan menuju Cikijing yang berada di ujung selatan Kabupaten Majalengka. Tak lama setelah sekitar 5 menit naik sepeda motor tiba-tiba “prit-prit” suara peluit pak polisi. “Selamat pagi pak, mana surat-suratnya?” tanya salah satu polisi. Saya dengan segera memberikan STNK dan KTP. Polisi tersebut terlihat senyum-senyum melihat KTP saya dan mengatakan “Kamu ulang tahun ya? mana SIM-nya?”. “Iya pak, gak ada ketinggalan di Jakarta”, jawabku. “Ya sudah STNK-nya saya tahan”, tegas sang polisi. Ulang tahun yang aneh pikirku. Sudahlah, tanpa berpikir panjang saya melanjutkan perjalanan ke Cikijing. Sekitar pukul 12:30 saya sampai di SMU Cikijing, kaki Gunung Ciremai. Saya disambut baik oleh kepala sekolah yang ternyata satu kecamatan dengan saya. Pak kepala sekolah mengatakan: “haturnuhun pisan a tos kadieu, informasi ieu teh tos lami diantos-antos”. Mendengar kata-kata pak kepala sekolah, rasa lapar lelah dan beban tilangan polisi jadi hilang seketika, membanggakan. Cerita yang membuat saya merasa bangga karena sudah mampu memberikan ‘sesuatu’ untuk daerahku. Pikirku inilah saatku untuk berbakti pada negeri ini.
Senyum ceria dan harapan yang terpancar dari teman-teman di daerah membuat saya semakin bulat untuk tetap menyebarkan misi Paramadina yang selaras dengan cita-cita bangsa. Sejujurnya kapanpun dimanapun dengan siapapun, saya selalu meneyelipkan Paramadina Fellowship dalam pembicaraan dan mereka antusias memperhatikan. Beberapa di antara mereka bertekad untuk mendaftarkan diri atau mendaftarkan anak-anaknya. Saya sengaja membidik mereka yang tidak memiliki akses ke perguruan tinggi berlatar ekonomi. Pikirku inilah lapanganku, orang yang memiliki banyak uang memiliki kesempatan yang besar untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Hal ini tentunya tidak didapatakan oleh mereka yang kalangan menengah ke bawah. Tidak hanya itu sasaran PF lebih luas, sasarannya adalah seluruh negeri ini dari Sabang hingga Merauke. Disamping sosialisasi langsung melalui tatap muka, dalam strategiku menyampaikan Paramadina, Facebook dan jejaring sosial lain kerap saya gunakan. Di Facebook sendiri saya memiliki group “HAI-ONE” yang sudah beranggotakan 180 orang lebih. Alhamdulillah dari group ini beberapa anggotanya memutuskan untuk mencoba mendaftar. Kantor pos dan perpustakaan umum daerah sengaja saya titipi formulir. Rupannya sosialisasi ini cukup berhasil, ada sekitar 30-an nomor baru yang dengan serius menanyakan pandaftaran PF dan jalur regular.
Bagi saya paramadina sesuai namanya; mengambil dari nama madinah yang dibangun atas landasan keberagaman adalah model ideal bagi bangsa Indonesia. Madinah dibangun atas dasar kebersamaan dalam keberagaman, dan inilah cita-cita dari paramadina sendiri. Sebagai Mahasiswa Paramadina, saya berkewajiban untuk mewujudkannya di kehidupan nyata dalam berbangsa dan bernegara. Dengan paradigma ini saya merasa berkewajiban untuk menjadi duta paramadina demi tercapainya ke-Bhinekatunggalika-an yang sejati.
@ narasi ini hanya gambaran betapa pendidikan tidak hanya penting dikenyam orang elit saja seperti yang selama ini terjadi. Pendidikan merupakan hak dan kebutuhan setiap orang dai semua lapisan masyarakat. Lembaga pendidikan bukanlah mesin penghasil lembaran uang. Lembaga pendidian mencetak Kader Pembaharu Bangsa. Terima kasih semoga cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi nyata bukan slogan semata.
Mendengar kata duta maka yang terlintas di benakku adalah seseorang yang berfungsi sebagai penyampai citra atau pengintepretasian dari suatu objek yang dicitrakan. Duta Paramadina adalah orang-orang yang berfungsi menyampaikan citra paramadina ke ranah publik.
Faktanya masih banyak yang belum menganal apa itu Paramadina. Saat sosialisasi Paramadina Fellowship di tahun 2010 dan 2011 di lebih dari 35 SMU/sederajat di kabupaten Cirebon dan Majalengka, saya banyak menemukan kasus salah ucap nama universitas kita. Universitas Paramadina ada yang mengatakan Paramadian, Paradigma bahkan ada yang mengatakan Paramita, "hadehhhh". Padahal mereka bilang: “iya ini kampus bagus lho” tapi tetap saja salah ucap itu terjadi. Mendengar salah ucap itu saya pribadi merasa perlu menyampaikan apa itu Paramdina yang sebenarnya.
Tahun 2008 untuk pertama kalinya saya mendengar Universitas Paramadina. Awalnya beredar kabar atau malah desas--desus yang kurang jelas. Banyak yang mengatakan Paramadina adalah kampus sekuler dan liberal. Sekuler dan liberal adalah kata-kata 'berkekuatan magis' yang ditakut-takuti kebanyakan orang di kampungku. Padahal mereka bahkan saya sendiri tidak tahu apa itu sekular apa itu liberal. Saat adikku memutuskan meninggalkan IPB dan memilih Paramadina, sempat terjadi kerengagangan di antara kami. Setiap gerak-geriknya saya perhatikan. Hatiku berkata :“Ni anak masih shalat gak?”. Ternyata dia masih shalat, masih seperti yang dulu. Kemudian adikku menjelaskan apa itu Paramadina. Barulah saya mengerti ternyata yang beredar di masyarakat hanyalah desas-desus belaka.
Tahun 2009 saya memutuskan mengikuti Paramadina Fellowship. Saat pertama bertemu tim panel di Kota Cirebon saya memuji tim panel dengan mengatakan :”terima kasih bu, sudah berkenan datang ke daerah kami hanya untuk mencari kami di daerah-daerah, sepengetahuanku tidak ada satupun universitas seperti ini”. Alhamdulillah lolos. Sejak saat itu pikiranku yang selalu berkata tidak mungkin ada universitas yang memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan secara gratis 100% terbantahkan. Saya bertekad harus menjadi bagian dari Paramadina yang selalu selaras dengan cita-cita para leluhur bangsa yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Saat ini saya sudah semester 4 dan ternyata Paramadina masih eksis menjalankan program Paramadina Fellowshipnya. Di tahun ini saat liburan semester 3, saya turut melakukan sosialisasi ke 35 SMU/Sederajat di Kabupaten Majalengka hingga Cirebon. Liburan yang hanya dua minggu saya habiskan untuk sosialisasi. Banyak yang menyambut gembira namun masih ada di antara guru yang menganggap kampus kita adalah kampus sekuler, ini saya anggap sebagai ‘PR’. Tahun sebelumnya, 2010 juga saya melakukan sosialisasi yang sama.
Ada peristiwa yang susah untuk dilupakan saat sosialisasi kemarin, di hari ulah tahunku, 2 Februari saya tetap melakukan perjalanan untuk sosialisasi. Tiba gilirannya SMU Di ujung selatan Majalengka yang berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis. Pagi sekitar jam 07:00 WIB pagi tanpa sarapan terlebih dahulu saya berpamitan dan langsung ‘terbang’ menuju Talaga, Maja dan Cikijung. Sekitar pukul 08:00 pagi saya sampai di SMU Talaga untuk pertama kalinya. Pak H. Wowo sang kepala sekolah menyambut baik kedatangan saya. Seluruh siswa kelas tiga IPA dan IPS yang berperingkat 10 besar dikumpulakan di aula. Para siswa menyambut berita yang saya bawa dengan penuh antusias. Hatiku berkata :”ini adalah kado ultahku”. Selesai sosialisasi saya melanjutkan perjalanan menuju Cikijing yang berada di ujung selatan Kabupaten Majalengka. Tak lama setelah sekitar 5 menit naik sepeda motor tiba-tiba “prit-prit” suara peluit pak polisi. “Selamat pagi pak, mana surat-suratnya?” tanya salah satu polisi. Saya dengan segera memberikan STNK dan KTP. Polisi tersebut terlihat senyum-senyum melihat KTP saya dan mengatakan “Kamu ulang tahun ya? mana SIM-nya?”. “Iya pak, gak ada ketinggalan di Jakarta”, jawabku. “Ya sudah STNK-nya saya tahan”, tegas sang polisi. Ulang tahun yang aneh pikirku. Sudahlah, tanpa berpikir panjang saya melanjutkan perjalanan ke Cikijing. Sekitar pukul 12:30 saya sampai di SMU Cikijing, kaki Gunung Ciremai. Saya disambut baik oleh kepala sekolah yang ternyata satu kecamatan dengan saya. Pak kepala sekolah mengatakan: “haturnuhun pisan a tos kadieu, informasi ieu teh tos lami diantos-antos”. Mendengar kata-kata pak kepala sekolah, rasa lapar lelah dan beban tilangan polisi jadi hilang seketika, membanggakan. Cerita yang membuat saya merasa bangga karena sudah mampu memberikan ‘sesuatu’ untuk daerahku. Pikirku inilah saatku untuk berbakti pada negeri ini.
Senyum ceria dan harapan yang terpancar dari teman-teman di daerah membuat saya semakin bulat untuk tetap menyebarkan misi Paramadina yang selaras dengan cita-cita bangsa. Sejujurnya kapanpun dimanapun dengan siapapun, saya selalu meneyelipkan Paramadina Fellowship dalam pembicaraan dan mereka antusias memperhatikan. Beberapa di antara mereka bertekad untuk mendaftarkan diri atau mendaftarkan anak-anaknya. Saya sengaja membidik mereka yang tidak memiliki akses ke perguruan tinggi berlatar ekonomi. Pikirku inilah lapanganku, orang yang memiliki banyak uang memiliki kesempatan yang besar untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Hal ini tentunya tidak didapatakan oleh mereka yang kalangan menengah ke bawah. Tidak hanya itu sasaran PF lebih luas, sasarannya adalah seluruh negeri ini dari Sabang hingga Merauke. Disamping sosialisasi langsung melalui tatap muka, dalam strategiku menyampaikan Paramadina, Facebook dan jejaring sosial lain kerap saya gunakan. Di Facebook sendiri saya memiliki group “HAI-ONE” yang sudah beranggotakan 180 orang lebih. Alhamdulillah dari group ini beberapa anggotanya memutuskan untuk mencoba mendaftar. Kantor pos dan perpustakaan umum daerah sengaja saya titipi formulir. Rupannya sosialisasi ini cukup berhasil, ada sekitar 30-an nomor baru yang dengan serius menanyakan pandaftaran PF dan jalur regular.
Bagi saya paramadina sesuai namanya; mengambil dari nama madinah yang dibangun atas landasan keberagaman adalah model ideal bagi bangsa Indonesia. Madinah dibangun atas dasar kebersamaan dalam keberagaman, dan inilah cita-cita dari paramadina sendiri. Sebagai Mahasiswa Paramadina, saya berkewajiban untuk mewujudkannya di kehidupan nyata dalam berbangsa dan bernegara. Dengan paradigma ini saya merasa berkewajiban untuk menjadi duta paramadina demi tercapainya ke-Bhinekatunggalika-an yang sejati.
@ narasi ini hanya gambaran betapa pendidikan tidak hanya penting dikenyam orang elit saja seperti yang selama ini terjadi. Pendidikan merupakan hak dan kebutuhan setiap orang dai semua lapisan masyarakat. Lembaga pendidikan bukanlah mesin penghasil lembaran uang. Lembaga pendidian mencetak Kader Pembaharu Bangsa. Terima kasih semoga cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi nyata bukan slogan semata.
Paramadina dan Cita-Cita Luhur Bangsa Indonesia
Mendengar kata duta maka yang terlintas di benakku adalah seseorang yang berfungsi sebagai penyampai citra atau pengintepretasian dari suatu objek yang dicitrakan. Duta Paramadina adalah orang-orang yang berfungsi menyampaikan citra paramadina ke ranah publik.
Faktanya masih banyak yang belum menganal apa itu Paramadina. Saat sosialisasi Paramadina Fellowship di tahun 2010 dan 2011 di lebih dari 35 SMU/sederajat di kabupaten Cirebon dan Majalengka, saya banyak menemukan kasus salah ucap nama universitas kita. Universitas Paramadina ada yang mengatakan Paramadian, Paradigma bahkan ada yang mengatakan Paramita, "hadehhhh". Padahal mereka bilang: “iya ini kampus bagus lho” tapi tetap saja salah ucap itu terjadi. Mendengar salah ucap itu saya pribadi merasa perlu menyampaikan apa itu Paramdina yang sebenarnya.
Tahun 2008 untuk pertama kalinya saya mendengar Universitas Paramadina. Awalnya beredar kabar atau malah desas--desus yang kurang jelas. Banyak yang mengatakan Paramadina adalah kampus sekuler dan liberal. Sekuler dan liberal adalah kata-kata 'berkekuatan magis' yang ditakut-takuti kebanyakan orang di kampungku. Padahal mereka bahkan saya sendiri tidak tahu apa itu sekular apa itu liberal. Saat adikku memutuskan meninggalkan IPB dan memilih Paramadina, sempat terjadi kerengagangan di antara kami. Setiap gerak-geriknya saya perhatikan. Hatiku berkata :“Ni anak masih shalat gak?”. Ternyata dia masih shalat, masih seperti yang dulu. Kemudian adikku menjelaskan apa itu Paramadina. Barulah saya mengerti ternyata yang beredar di masyarakat hanyalah desas-desus belaka.
Tahun 2009 saya memutuskan mengikuti Paramadina Fellowship. Saat pertama bertemu tim panel di Kota Cirebon saya memuji tim panel dengan mengatakan :”terima kasih bu, sudah berkenan datang ke daerah kami hanya untuk mencari kami di daerah-daerah, sepengetahuanku tidak ada satupun universitas seperti ini”. Alhamdulillah lolos. Sejak saat itu pikiranku yang selalu berkata tidak mungkin ada universitas yang memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan secara gratis 100% terbantahkan. Saya bertekad harus menjadi bagian dari Paramadina yang selalu selaras dengan cita-cita para leluhur bangsa yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Saat ini saya sudah semester 4 dan ternyata Paramadina masih eksis menjalankan program Paramadina Fellowshipnya. Di tahun ini saat liburan semester 3, saya turut melakukan sosialisasi ke 35 SMU/Sederajat di Kabupaten Majalengka hingga Cirebon. Liburan yang hanya dua minggu saya habiskan untuk sosialisasi. Banyak yang menyambut gembira namun masih ada di antara guru yang menganggap kampus kita adalah kampus sekuler, ini saya anggap sebagai ‘PR’. Tahun sebelumnya, 2010 juga saya melakukan sosialisasi yang sama.
Ada peristiwa yang susah untuk dilupakan saat sosialisasi kemarin, di hari ulah tahunku, 2 Februari saya tetap melakukan perjalanan untuk sosialisasi. Tiba gilirannya SMU Di ujung selatan Majalengka yang berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis. Pagi sekitar jam 07:00 WIB pagi tanpa sarapan terlebih dahulu saya berpamitan dan langsung ‘terbang’ menuju Talaga, Maja dan Cikijung. Sekitar pukul 08:00 pagi saya sampai di SMU Talaga untuk pertama kalinya. Pak H. Wowo sang kepala sekolah menyambut baik kedatangan saya. Seluruh siswa kelas tiga IPA dan IPS yang berperingkat 10 besar dikumpulakan di aula. Para siswa menyambut berita yang saya bawa dengan penuh antusias. Hatiku berkata :”ini adalah kado ultahku”. Selesai sosialisasi saya melanjutkan perjalanan menuju Cikijing yang berada di ujung selatan Kabupaten Majalengka. Tak lama setelah sekitar 5 menit naik sepeda motor tiba-tiba “prit-prit” suara peluit pak polisi. “Selamat pagi pak, mana surat-suratnya?” tanya salah satu polisi. Saya dengan segera memberikan STNK dan KTP. Polisi tersebut terlihat senyum-senyum melihat KTP saya dan mengatakan “Kamu ulang tahun ya? mana SIM-nya?”. “Iya pak, gak ada ketinggalan di Jakarta”, jawabku. “Ya sudah STNK-nya saya tahan”, tegas sang polisi. Ulang tahun yang aneh pikirku. Sudahlah, tanpa berpikir panjang saya melanjutkan perjalanan ke Cikijing. Sekitar pukul 12:30 saya sampai di SMU Cikijing, kaki Gunung Ciremai. Saya disambut baik oleh kepala sekolah yang ternyata satu kecamatan dengan saya. Pak kepala sekolah mengatakan: “haturnuhun pisan a tos kadieu, informasi ieu teh tos lami diantos-antos”. Mendengar kata-kata pak kepala sekolah, rasa lapar lelah dan beban tilangan polisi jadi hilang seketika, membanggakan. Cerita yang membuat saya merasa bangga karena sudah mampu memberikan ‘sesuatu’ untuk daerahku. Pikirku inilah saatku untuk berbakti pada negeri ini.
Senyum ceria dan harapan yang terpancar dari teman-teman di daerah membuat saya semakin bulat untuk tetap menyebarkan misi Paramadina yang selaras dengan cita-cita bangsa. Sejujurnya kapanpun dimanapun dengan siapapun, saya selalu meneyelipkan Paramadina Fellowship dalam pembicaraan dan mereka antusias memperhatikan. Beberapa di antara mereka bertekad untuk mendaftarkan diri atau mendaftarkan anak-anaknya. Saya sengaja membidik mereka yang tidak memiliki akses ke perguruan tinggi berlatar ekonomi. Pikirku inilah lapanganku, orang yang memiliki banyak uang memiliki kesempatan yang besar untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Hal ini tentunya tidak didapatakan oleh mereka yang kalangan menengah ke bawah. Tidak hanya itu sasaran PF lebih luas, sasarannya adalah seluruh negeri ini dari Sabang hingga Merauke. Disamping sosialisasi langsung melalui tatap muka, dalam strategiku menyampaikan Paramadina, Facebook dan jejaring sosial lain kerap saya gunakan. Di Facebook sendiri saya memiliki group “HAI-ONE” yang sudah beranggotakan 180 orang lebih. Alhamdulillah dari group ini beberapa anggotanya memutuskan untuk mencoba mendaftar. Kantor pos dan perpustakaan umum daerah sengaja saya titipi formulir. Rupannya sosialisasi ini cukup berhasil, ada sekitar 30-an nomor baru yang dengan serius menanyakan pandaftaran PF dan jalur regular.
Bagi saya paramadina sesuai namanya; mengambil dari nama madinah yang dibangun atas landasan keberagaman adalah model ideal bagi bangsa Indonesia. Madinah dibangun atas dasar kebersamaan dalam keberagaman, dan inilah cita-cita dari paramadina sendiri. Sebagai Mahasiswa Paramadina, saya berkewajiban untuk mewujudkannya di kehidupan nyata dalam berbangsa dan bernegara. Dengan paradigma ini saya merasa berkewajiban untuk menjadi duta paramadina demi tercapainya ke-Bhinekatunggalika-an yang sejati.
@ narasi ini hanya gambaran betapa pendidikan tidak hanya penting dikenyam orang elit saja seperti yang selama ini terjadi. Pendidikan merupakan hak dan kebutuhan setiap orang dai semua lapisan masyarakat. Lembaga pendidikan bukanlah mesin penghasil lembaran uang. Lembaga pendidian mencetak Kader Pembaharu Bangsa. Terima kasih semoga cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi nyata bukan slogan semata.
Paramadina Fellowshif 2012 telah dibuka:
Bagi yang berminat silahakn kujnungi www.paramadina.ac.id
Fasilitas:
1. Kuliah S1 gartis hingga lulus
2. Uang saku 1jt/bln hingga lulus
3. Uang buku 1jt/smstr
4. Di kasih kosan 2 thn
5. Transport ke Jakarta diganti
DAFTAR YAAA !!!!!
Mendengar kata duta maka yang terlintas di benakku adalah seseorang yang berfungsi sebagai penyampai citra atau pengintepretasian dari suatu objek yang dicitrakan. Duta Paramadina adalah orang-orang yang berfungsi menyampaikan citra paramadina ke ranah publik.
Faktanya masih banyak yang belum menganal apa itu Paramadina. Saat sosialisasi Paramadina Fellowship di tahun 2010 dan 2011 di lebih dari 35 SMU/sederajat di kabupaten Cirebon dan Majalengka, saya banyak menemukan kasus salah ucap nama universitas kita. Universitas Paramadina ada yang mengatakan Paramadian, Paradigma bahkan ada yang mengatakan Paramita, "hadehhhh". Padahal mereka bilang: “iya ini kampus bagus lho” tapi tetap saja salah ucap itu terjadi. Mendengar salah ucap itu saya pribadi merasa perlu menyampaikan apa itu Paramdina yang sebenarnya.
Tahun 2008 untuk pertama kalinya saya mendengar Universitas Paramadina. Awalnya beredar kabar atau malah desas--desus yang kurang jelas. Banyak yang mengatakan Paramadina adalah kampus sekuler dan liberal. Sekuler dan liberal adalah kata-kata 'berkekuatan magis' yang ditakut-takuti kebanyakan orang di kampungku. Padahal mereka bahkan saya sendiri tidak tahu apa itu sekular apa itu liberal. Saat adikku memutuskan meninggalkan IPB dan memilih Paramadina, sempat terjadi kerengagangan di antara kami. Setiap gerak-geriknya saya perhatikan. Hatiku berkata :“Ni anak masih shalat gak?”. Ternyata dia masih shalat, masih seperti yang dulu. Kemudian adikku menjelaskan apa itu Paramadina. Barulah saya mengerti ternyata yang beredar di masyarakat hanyalah desas-desus belaka.
Tahun 2009 saya memutuskan mengikuti Paramadina Fellowship. Saat pertama bertemu tim panel di Kota Cirebon saya memuji tim panel dengan mengatakan :”terima kasih bu, sudah berkenan datang ke daerah kami hanya untuk mencari kami di daerah-daerah, sepengetahuanku tidak ada satupun universitas seperti ini”. Alhamdulillah lolos. Sejak saat itu pikiranku yang selalu berkata tidak mungkin ada universitas yang memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan secara gratis 100% terbantahkan. Saya bertekad harus menjadi bagian dari Paramadina yang selalu selaras dengan cita-cita para leluhur bangsa yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Saat ini saya sudah semester 4 dan ternyata Paramadina masih eksis menjalankan program Paramadina Fellowshipnya. Di tahun ini saat liburan semester 3, saya turut melakukan sosialisasi ke 35 SMU/Sederajat di Kabupaten Majalengka hingga Cirebon. Liburan yang hanya dua minggu saya habiskan untuk sosialisasi. Banyak yang menyambut gembira namun masih ada di antara guru yang menganggap kampus kita adalah kampus sekuler, ini saya anggap sebagai ‘PR’. Tahun sebelumnya, 2010 juga saya melakukan sosialisasi yang sama.
Ada peristiwa yang susah untuk dilupakan saat sosialisasi kemarin, di hari ulah tahunku, 2 Februari saya tetap melakukan perjalanan untuk sosialisasi. Tiba gilirannya SMU Di ujung selatan Majalengka yang berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis. Pagi sekitar jam 07:00 WIB pagi tanpa sarapan terlebih dahulu saya berpamitan dan langsung ‘terbang’ menuju Talaga, Maja dan Cikijung. Sekitar pukul 08:00 pagi saya sampai di SMU Talaga untuk pertama kalinya. Pak H. Wowo sang kepala sekolah menyambut baik kedatangan saya. Seluruh siswa kelas tiga IPA dan IPS yang berperingkat 10 besar dikumpulakan di aula. Para siswa menyambut berita yang saya bawa dengan penuh antusias. Hatiku berkata :”ini adalah kado ultahku”. Selesai sosialisasi saya melanjutkan perjalanan menuju Cikijing yang berada di ujung selatan Kabupaten Majalengka. Tak lama setelah sekitar 5 menit naik sepeda motor tiba-tiba “prit-prit” suara peluit pak polisi. “Selamat pagi pak, mana surat-suratnya?” tanya salah satu polisi. Saya dengan segera memberikan STNK dan KTP. Polisi tersebut terlihat senyum-senyum melihat KTP saya dan mengatakan “Kamu ulang tahun ya? mana SIM-nya?”. “Iya pak, gak ada ketinggalan di Jakarta”, jawabku. “Ya sudah STNK-nya saya tahan”, tegas sang polisi. Ulang tahun yang aneh pikirku. Sudahlah, tanpa berpikir panjang saya melanjutkan perjalanan ke Cikijing. Sekitar pukul 12:30 saya sampai di SMU Cikijing, kaki Gunung Ciremai. Saya disambut baik oleh kepala sekolah yang ternyata satu kecamatan dengan saya. Pak kepala sekolah mengatakan: “haturnuhun pisan a tos kadieu, informasi ieu teh tos lami diantos-antos”. Mendengar kata-kata pak kepala sekolah, rasa lapar lelah dan beban tilangan polisi jadi hilang seketika, membanggakan. Cerita yang membuat saya merasa bangga karena sudah mampu memberikan ‘sesuatu’ untuk daerahku. Pikirku inilah saatku untuk berbakti pada negeri ini.
Senyum ceria dan harapan yang terpancar dari teman-teman di daerah membuat saya semakin bulat untuk tetap menyebarkan misi Paramadina yang selaras dengan cita-cita bangsa. Sejujurnya kapanpun dimanapun dengan siapapun, saya selalu meneyelipkan Paramadina Fellowship dalam pembicaraan dan mereka antusias memperhatikan. Beberapa di antara mereka bertekad untuk mendaftarkan diri atau mendaftarkan anak-anaknya. Saya sengaja membidik mereka yang tidak memiliki akses ke perguruan tinggi berlatar ekonomi. Pikirku inilah lapanganku, orang yang memiliki banyak uang memiliki kesempatan yang besar untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Hal ini tentunya tidak didapatakan oleh mereka yang kalangan menengah ke bawah. Tidak hanya itu sasaran PF lebih luas, sasarannya adalah seluruh negeri ini dari Sabang hingga Merauke. Disamping sosialisasi langsung melalui tatap muka, dalam strategiku menyampaikan Paramadina, Facebook dan jejaring sosial lain kerap saya gunakan. Di Facebook sendiri saya memiliki group “HAI-ONE” yang sudah beranggotakan 180 orang lebih. Alhamdulillah dari group ini beberapa anggotanya memutuskan untuk mencoba mendaftar. Kantor pos dan perpustakaan umum daerah sengaja saya titipi formulir. Rupannya sosialisasi ini cukup berhasil, ada sekitar 30-an nomor baru yang dengan serius menanyakan pandaftaran PF dan jalur regular.
Bagi saya paramadina sesuai namanya; mengambil dari nama madinah yang dibangun atas landasan keberagaman adalah model ideal bagi bangsa Indonesia. Madinah dibangun atas dasar kebersamaan dalam keberagaman, dan inilah cita-cita dari paramadina sendiri. Sebagai Mahasiswa Paramadina, saya berkewajiban untuk mewujudkannya di kehidupan nyata dalam berbangsa dan bernegara. Dengan paradigma ini saya merasa berkewajiban untuk menjadi duta paramadina demi tercapainya ke-Bhinekatunggalika-an yang sejati.
@ narasi ini hanya gambaran betapa pendidikan tidak hanya penting dikenyam orang elit saja seperti yang selama ini terjadi. Pendidikan merupakan hak dan kebutuhan setiap orang dai semua lapisan masyarakat. Lembaga pendidikan bukanlah mesin penghasil lembaran uang. Lembaga pendidian mencetak Kader Pembaharu Bangsa. Terima kasih semoga cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi nyata bukan slogan semata.
Paramadina Fellowshif 2012 telah dibuka:
Bagi yang berminat silahakn kujnungi www.paramadina.ac.id
Fasilitas:
1. Kuliah S1 gartis hingga lulus
2. Uang saku 1jt/bln hingga lulus
3. Uang buku 1jt/smstr
4. Di kasih kosan 2 thn
5. Transport ke Jakarta diganti
DAFTAR YAAA !!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar