Sejarah Singkat Desa Patuanan sudah ditulis di wikipedia, harap liat versi revisi tunda untuk tulisan ter-update.
DESA PATUANAN
Luas Wilayah : 195, 630 Ha
Jumlah Penduduk:Laki-laki
(1529 orang), Perempuan (2433 orang) Total: 3962 org
Jumlah KK 1220 KK (2013)
Kepadatan 48 jiwa/km
Peta Desa Patuanan
Pengenalan/pendahuluan
Patuanan
adalah nama sebuah desa berbahasa Jawa Cirebon yang terletak di tengah-tengah
masyarakat Berbahasa
Sunda (Kecamatan Leuwimunding,
Majalengka). Bahasa Jawa Cirebon dituturkan oleh
warga desa dalam kehidupannya sehari-hari sehingga terkadang warga desa sekitarnya sering menyebut desa
ini sebagai “Jawa Tengah”. Jawa di tengah-tengah orang Berbahasa Sunda.
Warga
Desa Patuanan pada umumnya mampu menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Jawa
Cirebon dan Bahasa Sunda. Bahasa Jawa Cirebon merupakan bahasa utama yang
digunakan warga desa dalam percakapan sehari-hari hingga saat ini, termasuk
acara resmi seperti khutbah jum’at atau pidato kuwu (pemimpin eksekutif di
desa). Bahasa Sunda menjadi bahasa
kedua, Bahasa Sunda digunakan
warga desa apabila kedatangan tamu Orang
Sunda atau siapapun yang
singgah di wilayah Desa
Patuanan namun dia tidak dapat berbahasa jawa, digunakan saat berkomunikasi
dengan warga desa tetangga dan sekitarnya, dan digunakan pada situasi-situasi
yang mengharuskan warga desa berbahasa
Sunda seperti warga
pendatang atau ketika ada menantu yang berasal dari desa lain yang berbahasa
sunda maka serta-merta tetangga sekitarnya akan menggunakan Bahasa Sunda ketika
berkomunikasi dengan orang tersebut.
Sejarah Singkat
Asal
mula Desa Patuanan memang ada beberapa versi namun versi yang terkuat adalah
karena datangnya serombongan guru dan murid dari Desa Kebagusan, Kabupaten
Cirebon. Dikisahkan ada seorang anak kecil bernama Kembar Pegambuan yang
memiliki kesaktian. Kembar
Pengambuan pergi dari rumahnya hingga jauh ke hutan yang sekarang bernama
Pegambuan (sekarang masuk wilayah Desa Sindanghaji/Dukuh Deog meskipun wilayah
ini dulunya masuk ke dalam wilayah Desa Patuanan). Jadi, Kembar Pegambuan lah
yang pertama kali datang ke Patuanan, sehingga acara adat “munjung” biasanya diawali di Pegambuan baru
kemudian ke tempat lainnya, meski
pada kenyataannya terkadang dilakukan pertama kali di Panggonan Gede, tempat
pemimpin para buyut yakni Maqom Buyut Pernata Kusuma/Pangeran Kipas.
Anak
kecil yang pergi
ini dicari oleh orang tua/tetua (bukan
orangtua kandungnya) yang bernama Pangeran Kipas atau
lebih dikenal sebagai Mbah Buyut Pernata Kusuma. Pangeran Kipas adalah seorang
resi/guru. Karena Sang Guru pergi maka para muridnya pun mengikuti jejak gurunya.
Berikut nama-nama para murid Pangeran Kipas:
1. Buyut
Kembar Pegambuan. Anak kecil yang pertama kali datang ke Desa Patuanan.
2. Buyut
Suranenggala (sura=wani=berani,
nenggala/menggala=gaman=senjata) atau Buyut Capang, seorang panglima perang
berkedudukan di perbatasan desa dengan Desa Nanggerang.
3. Buyut
Amal berasal dari Desa Megu, Cirebon yang senang bercocok tanam, hasil taninya
biasa dibagi-bagikan kepada para warga hingga beliau terkenal dengan nama Buyut
Amal.
4. Buyut
Nuriman. Asal dari Kebagusan, Cirebon.
Konon beliau memiliki peliharaan perkutut putih. Berkedudukan di Kleben, blok
Minggu.
5. Buyut
Dekimah. Berkedudukan di Blok Senen.
6. Buyut
Lanjar. Berkedudukan di Blok Senen.
7. Buyut
Sangkep. Berkedudukan di Blok Selasa.
8. Buyut
Nitisari. Berkedudukan di Blok Selasa. Konon beliau memiliki kuda lumping yang
dapat terbang. Beliau berasal dari Trusmi, Cirebon.
9. Buyut
Kaprah/Semidin. Seorang ahli pewayangan/dalang wayang. Konon beliau memiliki
kesaktian mampu berada di lebih dari
satu tempat dalam waktu bersamaan (kaprah).
10. Buyut
Kuliangsari. Berkedudukan di Blok Rabu.
11. Buyut
Jati/Kawad. Berkedudukan di Blok Kamis.
12. Buyut
Winayu. Berkedudukan di Blok Rabu. Beliau seorang puteri dari Kerajaan Talaga Manggung.
Buyut Winayu memiliki pusaka bernama “cupu manik pesugihan”. Terbuat dari emas yang sempat
hampir dicuri oleh Buyut Buniwangi yang bernama Ki Bodo Bener. Karena Buyut
Winayu sudah tahu bahwa akan ada pencurian, maka beliau membuat gunung api yang
berkobar. Karena Bodo Bener seorang yang sakti maka Bodo Bener dapat selamat
walaupun melewati bara api. Bodo Bener hanya mendapat bekas hitam (gosong) di seluruh kulitnya. Hal ini yang
menyebabkan orang-orang Desa Buniwangi cenderung memiliki warna kulit hitam gelap. Nama “Buniwangi”
sendiri diambil dari kata “buni” dan “wangi”. Jadi sebenarnya pusaka itu tidak
dapat dicuri karena “buni” (tersembunyi)
dan Bodo Bener hanya mendapat “wangi”-nya saja/baunya.
13. Buyut
Simah/Buyut Kodok. Berasal dari Kebagusan. Berkedudukan di Blok Jumat. Konon kesaktiannya dapat
berubah menjadi “kodok”/katak.
14. Buyut
Katimaha/Buyut
Dekimah. Berkedudukan di Blok Senin.
15. Buyut Sangkin yang berkedudukan di Mindana. (sekarang
masuk wilayah Desa Sindanghaji). Berasal dari Jawa Tengah.
Maqom Mbah Buyut Pernata Kusuma/Pangeran Kipas beserta keluarganya (Istri dan anaknya; Janur Wenda)
Singkatnya
berhasillah ditemukan anak kecil tersebut sehingga Pangeran Kipas pun membuka
hutan di daerah yang sekarang termasuk wilayah Desa Patuanan, Sindanghaji dan
Tarikolot. Konon wilayah Patuanan dahulu sangat luas sampai ke perbatasan
Desa Pasir, Palasah. Patuanan
dan Sindanghaji dijadikan dua desa pada masa Penjajahan Belanda. Sindanghaji
kemudian dimekarkan menjadi Desa
Sindanghaji dan Tarikolot. “Tarik” dan “kolot”. “Ditarik kunu kolot”, yang
maknanya ditarik orang tua/Patuanan; bukan orang tua yang sedang menari seperti yang
dipahami sebagian anak muda Tarikolot.
Berikut
ini disebutkan tanda bahwa ketiga desa tersebut merupakan wilayah yang
“dibabak” oleh Pernata Kusuma:
a. Sawah
Lebak Nata di Desa Tarikolot, diambil
dari nama Buyut Pernata Kusuma/Pangeran Kipas.
b. Dukuh atau Blok Nata di wilayah Desa
Sindanghaji.
Buyut Pernata Kusuma
memiliki seorang anak bernama Janur Wenda yang memiliki jasa besar pada
pertempuran melawan kerjaaan Eretan, Indramayu yang dipimpin Raden Wilalodra.
Dikisahkan Pasukan
Cirebon terdesak oleh kepungan tentara Eretan hingga akhirnya Mbah Kuwu Sangkan/Pangeran Cakrabuana/Walangsungsang (Anak Prabu
Siliwangi) meminta bala bantuan kepada penjaga
pusaka keraton cirebon yakni Pangeran Kipas/Buyut Pernata Kusuma dengan
mengutus Syarif Durahman yang lebih dikenal dengan nama Sunan Kalijaga. “Wa,
tolong kami. Pasukan Cirebon terdesak di Eretan”, begitu pinta Syarif Durahman.
“Aduh saya sudah tua, anak saya saja ya Janur Wenda”, begitu
jawab Pangeran Kipas.
Janur Wenda pada saat
itu sedang tapabrata di Gunung Dieng. Mendapat berita bahwa ayahnya menyuruh
dia pulang. Pulanglah Janur Wenda. Konon karena kesaktiannya sebatang pohon
jadi kering karena dijadikan sandaran Janur Wenda
pada
saat kelelahan.
Singkatnya sampailah Janur Wenda di Patuanan dan berpamitan dengan ayahnya hendak ke
Eretan membantu Pasukan Kesultanan Cirebon.
Sesampainya di Eretan, Raden Wilalodra sudah menyiapkan senjata rahasianya,
sebuah golok sangat besar yang disimpan di Desa Bugel. Bertemulah Janur Wenda
dengan Raden Wilalodra di Desa Sumur
Adem (sekarang wilayah Kab. Indramayu) dan dengan cepat
golok pusaka Raden Wilalodra dipukulkan ke Janur Wenda hingga amblas ke tanah. Ternyata golok yang disimpan di Desa Bugel itu mampu
membuat Janur Wenda amblas. Merasa telah menang,
Raden Wilalodra dan pasukannya pun pulang.
Karena lama belum juga ada kabar dari
Janur Wenda, maka Mbah Kuwu Sangkan/Pangeran
Cakrabuana datang ke Eretan dan ditemukkannya Janur Wenda amblas ke dalam
tanah. Dikibaskanlah serban Mbah Kuwu Sangkan, lalu keluarlah Janur Wenda
dengan selamat. Bekas amblasnya Janur Wenda keluarlah
sumber air yang kemudian ditandai dengan tanaman sere
hingga akhirnya diberi nama “sumur sere” atau “sumur adem” yang kemudian menjadi nama sebuah
desa di Kecamatan Eretan, Desa Sumur Adem sekarang.
Selepas perang dengan
Eretan, Janur Wenda pulang ke ayahnya, Buyut
Pernata Kusuma di Patuanan. Singkat Cerita Mbah Buyut Pernata Kusuma, keluarga
dan para pengikutnya menetap hingga beranak pinak hingga sekarang di Patuanan
lama (sekarang wilayah Patuanan, Sindanghaji dan Tarikolot). Seiring
berjalannya waktu, sekarang hanya Desa Patunan saja yang masih menjaga tradisi
menggunakan Bahasa
Jawa Cirebon dan sebagian kecil wilayah Desa Sindanghaji (wilayah Mindana dan
Tegalmerak), meskipun pada kenyataannya wilayah Mindana dan Tegalmerak tidak
sepenuhnya menggunakan bahasa jawa dalam kesehariannya (hanya sebagian kecil
orang tua saja yang terkadang
masih menggunakan Bahasa
Jawa).
Alun-Alun Desa Patuanan
Sejak dimulainya
penjajahan Belanda, maka pemerintah kolonial
Belanda
membentuk wilayah-wilayah desa yang dikepalai oleh seorang kuwu (diambil dari
nama Mbah Kuwu Sangkan) yang
dimaksudkan agar para pemimpin desa meneladani kepmimpinan Mbah Kuwu
Sangkan/Pangeran Cakrabuana. Untuk Wilayah Patuanan sendiri dibagi menjadi dua wilayah
yakni Patuanan yang merupakan
tempat-tempat kedudukannya para tetua
yakni
Mbah Buyut Pernata Kusuma dan para muridnya
dan satu wilayah lagi yakni desa Sindanghaji
di sebelah barat. Berikut ini nama-nama kuwu yang pernah menjabat sebagai kuwu
di desa patuanan :
1. Buyut
Ngabeih Mangunteki yang merupakan
kuwu pertama. Dikisahkan Buyut
Ngabeih Mangunteki memiliki
keahlian membangun “mangun” “teki” (bangunan di atas air). Dikatakan “ngabeih”
yang asal katanya “kabeh” artinya semua. Dikisahkan ada sayembara di wilayah kewedanaan Rajagaluh. Waktu itu
ada pesta raja di Rajagaluh
dan kerbau yang dijadikan santapan pesta ternyata mengamuk. “hai para kuwu ada yang
sanggup tidak menaklukkan kerbau itu
?”: kata seorang panitia pesta. Semua diam hingga akhirnya
ada yang menunjuk Kuwu
Patuanan. Benar saja
sang kuwu pertama ini sanggup menaklukan kerbau itu. Oleh karena kemampuannya
dalam banyak
hal, maka kuwu pertama ini dijuluki Buyut
Ngabeih Mangunteki.
2. Buyut
Sijran. Pada masa kuwu kedua ini 2 wilayah Patuanan lepas menjadi wilayah Sindanghaji
akibat kekalahan berjudi.
Mindana dan Dukuh Deog jadi bayaran taruhan.
3. Buyut
Sarpan
4. Buyut
Arniem
5. Buyut
Rawen
6. Buyut
Sudirah
7. Buyut
Kipan. Pada masa ini tempat balai desa menetap di balai desa yang sekarang karena
merupakan tanah wakaf dari Mbah
Buyut Kipan. Sebelumnya
balai desa berpindah-pindah sesuai tempat tinggal kuwu.
8. Buyut
Darsih
9. Bapak
Tarma
10. Bapak
Darpan (1944-1950)
11. Bapak
Kantun (1950-1960)
12. Bapak
Abdul Fattah (1960-1972).
Pada
masa kuwu ini dimulailah kebiasaan warga menganyam bambu menjadi “kukusan”
(aseupan: B. Sunda). Ini berawal dari kerprihatinan bahwa rakyat desa tidak
memiliki kegiatan di saat sawah tidak dalam masa garap. Maka Kuwu Fattah
(Panggilan akrabnya) pada tahun 70an sengaja mendatangkan orang sumedang untuk
mengajari warga desa mngenyam “kukusan”. “Kukusan” sampai sekarang menjadi
maskot Desa Patuanan.
Warga Desa Sedang menyanyam kukusan
Sebelum
masa Kuwu Fattah upaya untuk membuka jalur pengairan sudah dilakukan, namun
selalu menemui kegagalan. Pihak Desa Parakan tidak mau memberikan air untuk
pengairan yang berasal dari Sungai Cikamangi. Lalu tak kehabisan akal, Kuwu
Fattah mengajak diplomasi Kuwu Parakan. Kuwu Fattah sering mngajak makan Kuwu
Parakan hingga akhirnya mereka akrab dan Kuwu Parakan akhirnya bertanya: “Pak,
kenapa yah Parakan sama Patuanan bermusuhan?, tidak boleh menikah dan
sebagainya?”. “Jadi begini, dulu Desa Kita seolah bermusuhan karena memang kita
berbeda agama, Anda agama Budha/Hindu sedangkan kami di Patuanan beragama
Islam. Makanya kita tidak boleh menikah. Nah sekarang, di Parakan ada mesjid,
di Patuanan juga ada mesjid. Berarti kita sekarag bersaudara. Bukan musuh. Nah bermusuhan
menurut Anda bagus apa jelek?”. Jawab Kuwu Fattah panjang lebar. “Ya jelek atuh pak”. Jawab Kuwu Parakan. “Nah kalo
jelek kenapa mesti dilanjutkan?”. Lanjut Kuwu Fattah. Akhirnya Kuwu Parakan
terbuka hatinya dan mau membuka saluran air dari Sungai Cikamangi di sebelah
timur balai Desa Parakan. Sampai sekarang saluran air ini mampu mengaliri sawah
di Desa Patuanan, Parakan, Nanggerang, sebagian Lame dan Sindanghaji dan
Tanjungsari.
Pada masa Kuwu Fattah Pasar Jorongan
mencapai puncak kegemilangannya. Pasar ini begitu ramai karena menjadi pusat
perekonomian dan perbelanjaan desa-desa di sekitarnya. Desa Sindanghaji dan
Tarikolot, Parakan, Nangerang, Heuleut dan Tanjungsari, Karangasem, hingga Weragati adalah pengunjung
utama pasar ini. Hampir setiap minggu juga diadakan pertunjukan rakyat seperti
sandiwara, topeng, sintren, wayang kulit, tarling dan lain-lain. Maka Pasar
Jorongan semakin ramai saja. Seiring berjalannya waktu dan perubahan kebijakan
pemerintahan desa, hiburan rakyat mulai ditinggalkan, Angkutan umum seperti
angkot membuat orang-orang lebih memilih Pasar yang lebih besar untuk
berbelanja seperti ke Pasar Rajagaluh atau Leuwimunding. Sekarang bahkan Pasar
Jorogan semakin sepi saja dan hanya “hidup’ pagi hari saja hingga pukul 09:00
WIB. Hampir setiap orang memiliki kendaraan sendiri dan mereka lebih memilih
pasar yang lebih besar.
13. Bapak
Markim (1972-1982)
14. Ibu
Sugiati (1982-1990)
15. Bapak
Leginda (1990-1998)
16. Bapak
Tarsidi (1998-2005)
17. Bapak
Aan Subhan (2008-2012)
18. Bapak
Uha Suhadi 2013-sekarang.
Di atas terdapat
daftar nama kuwu dari yang pertama sampai sekarang. Tahun menjabat sebelum kuwu
Darpan sengaja tidak disebutkan, meskipun ada versi yang sengaja mengira-ngira
selang 10 tahun ada kuwu, padahal
hal itu tidak bisa menjadi dasar karena pada jaman dahulu masa bakti kuwu tidak
ada waktu yang ditentukan, selama kuwu tersebut masih dipercaya masyarakat,
maka selama itu kuwu tersebut menjabat.
Demikian sejarah
singkat Desa Patuanan dari versi yang paling banyak
diyakini kebenarannya, Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil wawancara dengan
sesepuh desa dan kuwu ke 12 (Bapak
Abdul Fattah) selama hidupnya
sebagai sumber utama. Meskipun pada saat tulisan ini dibuat Juni, 2016 Bapak Fattah
sudah berpulang (2010). Selain itu cerita ini memang sebagian besar diyakini
masyarakat secara umum.
Meskipun masih ada versi lain
yang menyatakan
bahwa Patuanan bukan berasal dari kata tua melainkan
“tuan” karena dulu tentara Cirebon disebut “tuan”. Versi
ini tidak mengakui bahwa Patuanan ini paling tua
karena asumsi bahwa masih banyak kuwu desa lain yang lebih banyak dari Desa Patuanan. Padahal
banyaknya kuwu bukan jaminan bahwa suatu daerah lebih tua karena masa jabatan
kuwu tidaklah sama. Selain itu maksud “tua” bukanlah paling tua di seluruh wilayah Cirebon atau Majalengka (jelas yang
namanya pendatang tidak mungkin paling tua;
pendatang
dari Cirebon membuka lahan baru), melainkan
paling tua jika dibandingkan
dengan desa-desa di sekitarnya (Sindanghaji,
Tarikolot, Tanjungsari, Heuleut dan sekitarnya).
Tulisan ini
tergerak dari kesadaran kuat akan pentingnya pengetahuan mengenai Sejarah Desa
kita yang unik. Penulis dengan senang hati akan menerima saran dan kritik dari
pembaca.
Penulis,
Iwan Ridwan Wahidin S.Psi
Sumber : _____. 2013. Profil Desa dan Kelurahan Tahun 2013. Majalengka: BPMDPKB Kabupaten Majalengka.
Kita seneng he dadi Wong patuanan blok rabu
BalasHapusana nomer wa ne beli mang ?? pengen ngobrol beberapa hal
BalasHapus